Persepsinews.com, Samarinda – Dentuman suara pengeras suara menggema di depan gedung DPRD Kaltim. Ratusan mahasiswa dengan jaket almamater berkumpul, mengangkat spanduk besar bertuliskan “Tolak Kampus Kelola Tambang!” Mereka berteriak lantang, menuntut kejelasan atas wacana yang dianggap mencederai dunia pendidikan.
Aksi protes yang digelar pada Kamis (6/2) ini dipimpin oleh Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam). Dengan semangat membara, mereka mendesak para wakil rakyat untuk hadir dan menyampaikan sikap atas isu yang dinilai akan semakin memperburuk kondisi lingkungan di Kalimantan Timur.
“Kami datang ke sini untuk bertanya! Untuk meminta pertanggungjawaban! Tetapi mana mereka? Gedung ini sunyi, seperti tak berpenghuni!” seru Andi Mauliana Muzakkir, Ketua Senat Hukum Universitas 17 Agustus Samarinda, dari atas mobil komando.
Mahasiswa menilai, wacana izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi bukanlah solusi, melainkan ancaman baru. Di tengah luka lingkungan yang sudah menganga akibat industri tambang, keputusan ini dianggap hanya akan menambah daftar panjang eksploitasi sumber daya alam tanpa arah yang jelas.
“41 anak sudah meninggal di lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga! Sudah cukup! Jangan jadikan kampus sebagai mesin tambang baru!” teriak Daffa Prasetyo, mahasiswa Teknik Lingkungan, disambut sorakan dukungan dari rekan-rekannya.
Salah satu dalih pemerintah dalam wacana ini adalah bahwa pendapatan dari sektor tambang bisa membantu perguruan tinggi dan menurunkan biaya kuliah. Namun, mahasiswa justru mempertanyakan janji tersebut.
“Sejak 2012, kampus sudah boleh berbisnis! Apa UKT jadi lebih murah? Tidak! Justru tiap tahun makin naik! Jangan tipu kami lagi!” seru Karina, mahasiswa Ilmu Politik, yang berdiri di tengah kerumunan massa.
Mereka menolak keras gagasan bahwa pendidikan harus dikorbankan demi kepentingan ekonomi. “Kami kuliah untuk ilmu, bukan untuk jadi pemain tambang! Kampus bukan perusahaan! Jangan biarkan ilmu dijual demi profit!” teriak salah satu demonstran.
Menjelang petang, mahasiswa masih bertahan. Mereka berharap ada satu perwakilan DPRD yang berani keluar dan memberikan kepastian. Namun, harapan itu hanya menemui pintu gerbang yang tertutup rapat dan sunyi.
“Kami tidak akan pergi sebelum ada jawaban!” suara demonstran semakin lantang.
Namun, kesabaran aparat keamanan mulai menipis. Setelah beberapa kali imbauan untuk membubarkan diri tak diindahkan, langkah tegas diambil.
Suara sirene menggema. Dari kejauhan, mobil water cannon mulai bergerak mendekat. Seketika, semburan air bertekanan tinggi menyapu barisan mahasiswa. Beberapa mencoba bertahan, yang lain berlarian menghindari semprotan air. Suasana yang awalnya penuh semangat berubah menjadi kepanikan.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, menegaskan bahwa tindakan ini dilakukan sesuai prosedur. “Kami telah memberi peringatan, namun massa tetap bertahan. Maka kami mengambil langkah tegas namun tetap terukur,” ujarnya.
Aksi berakhir dengan pembubaran paksa. Namun, bagi mahasiswa, ini bukan akhir. Mereka bersumpah akan kembali dengan gelombang protes yang lebih besar jika tuntutan mereka tetap diabaikan. (Nto)