Persepsinews.com, Samarinda – Penghormatan terhadap hak penyandang disabilitas, hingga kini masih jauh dari terpenuhi di tingkat daerah.
Untuk itu, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kaltim, Umi Laili, dengan tegas menyoroti lemahnya komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dalam menyediakan infrastruktur dan layanan transportasi publik yang ramah dan inklusif bagi kelompok difabel.
Umi mengungkapkan fakta memprihatinkan, dimana tidak ada alokasi anggaran khusus di tahun 2025 untuk pemeliharaan aksesibilitas jalan ataupun pengembangan transportasi umum bagi disabilitas.
“Ttahun ini tidak ada satu rupiah pun yang dialokasikan untuk memperbaiki atau membangun fasilitas transportasi dan jalan yang ramah disabilitas. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk nyata pengabaian terhadap hak asasi manusia,” tegas Umi Laili, belum lama ini.
Ia menilai bahwa situasi ini mencerminkan minimnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsep hak disabilitas sebagai bagian integral dari hak dasar warga negara.
Umi menilai, ketiadaan anggaran tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan kelompok disabilitas belum diposisikan sebagai prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah.
Umi pun menanggapi alasan klasik yang kerap diungkapkan Pemkot Samarinda mengenai tantangan geografis, seperti banjir, kepadatan wilayah, dan kondisi lalu lintas yang kurang mendukung.
Baginya, kendala teknis tidak seharusnya menjadi dalih untuk menunda atau mengabaikan kewajiban negara dalam menyediakan ruang publik yang setara dan aksesibel.
“Benar, ada tantangan teknis di lapangan. Tapi justru di situlah negara harus hadir, memperbaiki situasi, bukan menyerah. Penyandang disabilitas tidak boleh dikorbankan karena alasan ketidaknyamanan geografis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Umi menekankan bahwa dalam kerangka hukum HAM internasional, hak penyandang disabilitas adalah hak universal dan tidak bergantung pada seberapa banyak atau seberapa sering fasilitas digunakan.
Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, tetap wajib memastikan ketersediaan layanan dasar yang setara tanpa diskriminasi.
“Fasilitas publik inklusif bukan soal banyak atau sedikit yang menggunakan. Ini tentang kewajiban negara untuk hadir dan menjamin hak-hak dasar semua warganya tanpa kecuali,” paparnya.
Umi mengingatkan bahwa prinsip inklusivitas sudah menjadi komitmen global yang diterjemahkan dalam berbagai instrumen nasional, termasuk dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranham).
Ranham, tegasnya, bukan sekadar dokumen administratif, melainkan instrumen evaluasi kinerja pemerintah daerah dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak setiap warga negara.
“Kalau Ranham tidak dipahami dengan sungguh-sungguh, maka komitmen kita terhadap HAM akan berhenti di atas kertas saja. Kita ingin perubahan yang nyata, bukan hanya data yang bagus dalam laporan tahunan,” kata Umi.
Ia menekankan bahwa tanpa fasilitas yang inklusif, penyandang disabilitas akan terus terpinggirkan dari ruang publik, pendidikan, layanan kesehatan, hingga peluang ekonomi. Ini bukan hanya persoalan fasilitas fisik, tetapi tentang pengakuan penuh atas martabat, hak, dan peran setara mereka di masyarakat.
Umi berharap Pemkot Samarinda dan seluruh pemerintah daerah di Kaltim mulai menempatkan isu disabilitas sebagai bagian dari arsitektur utama pembangunan, bukan sekadar tambahan atau program pelengkap.
“Disabilitas bukan kelompok kecil yang bisa dilupakan. Mereka adalah bagian dari rakyat kita, yang haknya harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi. Negara hadir untuk semua, termasuk untuk mereka,” tandasnya. (Ehd)