
Persepsinews.com, Samarinda – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), melalui Dinas Kehutanan, secara tegas menetapkan batasan krusial dalam pengelolaan lahan berbasis kehutanan, terutama yang melibatkan kemitraan konsesi dengan perusahaan. Aturan utama yang tidak bisa ditoleransi adalah larangan mutlak penanaman kelapa sawit di kawasan hutan yang dikelola oleh kelompok masyarakat.
Kebijakan ini merupakan manifestasi dari komitmen Pemprov Kaltim untuk menjaga fungsi ekologis hutan sebagai prioritas utama yang tidak dapat ditawar demi keuntungan jangka pendek.
Kepala Bidang Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kehutanan Kaltim, M. Gozali Rahman, menegaskan bahwa regulasi ini harus dipatuhi secara ketat oleh seluruh pihak, baik masyarakat, kelompok tani hutan, maupun perusahaan yang menjalin kemitraan.
“Kami membuka peluang bagi masyarakat atau kelompok tani hutan untuk bekerja sama dengan pihak perusahaan, namun ada batasannya. Kerjasama tersebut boleh dilakukan, tetapi penanaman sawit itu tidak diperbolehkan sama sekali di kawasan hutan kelola masyarakat,” tegas Gozali.
Ia melanjutkan bahwa bentuk pemanfaatan lahan lain yang diizinkan dan didukung penuh adalah skema seperti agroforestry, silvopastura, dan berbagai bentuk kehutanan sosial lainnya yang selaras dengan prinsip kelestarian.
Gozali menjelaskan alasan di balik pelarangan sawit tersebut. Penanaman sawit secara monokultur dalam skala besar di kawasan hutan memiliki potensi besar untuk mengubah fungsi kawasan secara permanen, merusak struktur ekosistem hutan, mengurangi keanekaragaman hayati, dan yang paling mengkhawatirkan, memicu deforestasi secara masif.
Karena dampak negatif jangka panjang tersebut, regulasi pelarangan sawit diterapkan secara ketat demi menjaga kualitas lingkungan di Bumi Etam.
“Prinsip kami jelas: kami ingin masyarakat tetap bisa produktif dan mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan dari hutan, tetapi tidak dengan cara yang merusak ekosistem. Ada banyak sekali alternatif kegiatan ekonomi hijau yang bisa dikembangkan dan jauh lebih berkelanjutan,” paparnya.
Alternatif-alternatif yang didorong Dishut Kaltim mencakup penanaman komoditas bernilai tinggi seperti tanaman buah hutan endemik, tanaman kayu cepat tumbuh (fast growing species) untuk kebutuhan non-industri, atau pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu hutan, getah, dan aneka tanaman obat.
“Kegiatan ini dianggap mampu memberikan keuntungan ekonomi yang stabil tanpa harus mengorbankan integritas hutan,” imbuh Gozali.
Gozali juga menyampaikan bahwa Dinas Kehutanan bersama para penyuluh kehutanan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota terus melakukan sosialisasi dan pendampingan intensif di lapangan.
Tujuannya adalah agar masyarakat tidak hanya sekadar patuh, tetapi juga memahami esensi dan tujuan dari kebijakan ini.
“Prinsip kami adalah mencapai keseimbangan harmonis antara manfaat ekonomi bagi masyarakat dan kelestarian fungsi hutan. Kami tidak ingin masyarakat kehilangan hutan mereka hanya demi keuntungan jangka pendek yang tidak berkelanjutan,” ujarnya.
Ia ingin hutan tetap menjadi sumber kehidupan yang stabil dari generasi ke generasi.
Gozali menyebut beberapa daerah, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, dan Mahakam Ulu, menjadi contoh wilayah binaan yang menunjukkan potensi besar untuk berkembang dengan tetap mengedepankan prinsip kehutanan berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal.
“Kami dorong masyarakat lokal di daerah ini untuk menjadi subjek yang berdaya dan mandiri secara ekonomi, tanpa harus mengorbankan hutan mereka. Hutan harus tetap hidup sehat bersama warganya; itulah visi pembangunan kehutanan berkelanjutan Kaltim,” tutup Gozali.
Hal ini, lanjut dirinya menegaskan, tak semata-mata hanya untuk larangan, namun, ini sebagai komitmen Pemprov Kaltim terhadap green economy. (CIN/Adv/Diskominfokaltim)













