Persepsinews.com, Samarinda – Kekerasan seksual sebanyak 425 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 551 kasus menjadi dua kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang paling mendominasi, berdasarkan rilis data Data ini diungkapkan oleh Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, tahun 2023.
Sementara itu, Kabupaten/Kota tertinggi kasus kekerasan ini diduduki oleh Kota Samarinda, yakni dengan 494 kasus.
Dalam lima tahun terakhir kekerasan perempuan dan anak di Kaltim terus meroket mencapai 1.108 kasus. Hal ini menandakan bahwa Kaltim, khususnya Kota Samarinda merupakan Wilayah darurat kekerasan perempuan dan anak.
Untuk itu, koalisi masyarakat sipil anti kekerasan seksual melakukan galangan dukungan terhadap kasus yang sejak 6 September 2023 telah di perjuangkan dalam basis-basis terkecil yang berhasil di himpun untuk menyingkirkan kejahatan seksual yang terjadi terhadap banyak korban.
Menurut Laporan yang di dapatkan koalisi ini, terduga pelaku berinisial AP (24) merupakan Mahasiswa Universitas Mulawarman angkatan 2019 yang terlibat dalam komunitas kesusastraan dan seni di kota Samarinda, yakni Komunitas Menuju Rubanah, Malam Puisi Samarinda di tahun 2018, dan pernah menerbitkan antologi puisi berjudul Memoar Tangan-tangan Beku.
Selama kasus ini berjalan, juga didapati bahwa ada sebanyak 10 terduga korban. Sebanyak 6 terduga korban berani melaporkan diri kepada koalisi, namun 4 terduga korban tidak dapat dijangkau akibat traumatik yang berat dan memilih tidak melaporkan diri.
Sedangkan 2 terduga korban lainnya di catat menerima Kekerasan gender Online (KBGO), berada di luar Pulau Kalimantan. Untuk itu, diberikan tindakan pemulihan bagi setiap korban yang melapor.
Modus operandi AP, menggunakan cara yang beragam. Diantaranya, Menebar jala dengan merespon Storygram ke setiap calon-calon terduga korban, pendekatan pemanfaatan ekonomis, pembagian cerita sedih, pemanfaatan relasi kuasa dalam ruang relasi intelektual dan kemampuan linguistik, pemanfaatan ruang akademis, penjualan buku, joki tugas, serta ruang-ruang kegiatan dalam komunitas untuk mencari korban.
Dalam penelusuran, tim menemukan bentuk dalam hubungan yang terindikasi sebagai bentuk kekerasan seksual yang mengacu dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu:
1. Menggunakan pola manipulatif: membagikan cerita sedih, pemanfaatan ekonomi meyakinkan pertemuan dalam ruman terduga pelaku, menjanjikan pernikahan dan victim blaming
2. Pelecehan Verbal: meletakkan posisi perempuan (dalam hal ini stereotype)
3. Love Bombing
4. Pemaksaan (merayu dan membujuk) Penetrasi
5. Kekerasan Psikologis
6. Gaslighting
7. Kekerasan Fisik
8. Membujuk melakukan aktivitas seksual
9. Membujuk melakukan aktivitas Anal Sex
10.KBGO: Ancaman penyebaran sex tape dan penyebaran sex tape (Revenge Porn)
11.Melakukan kontak fisik tanpa consent
Kasus ini telah bergulir di Satuan Tugas (Satgas PPKS) Unmul sejak 2 Oktober 2023. Penanganan kasus ini kemudian berjalan lamban, tidak memenuhi Standard Operational Procedure (SOP), sebab korban menyampaikan bahwa dirinya dilecehkan ketika proses pengambilan keterangan dengan pernyataan “Sakit ga, kalau sakit berarti AP tidak jago?”.
Hal ini menunjukan, bahwa pembangunan Satgas PPKS Unmul tidak dibangun dengan pengetahuan mendasar tentang kajian gender, sehingga ketidakberpihakan Satgas PPKS Unmul terhadap korban menjadi konsekuensi dari kosongnya ideologi gender yang dimiliki Satgas PPKS Unmul.
Permasalah kekerasan seksual ini harus dilihat dengan lebih objektif dan meninggalkan pandangan usang yang terus menerus mengobjektifikasi perempuan.
Kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan struktural yang harus dipandang utuh. Dalam kampus, penanganan kekerasan seksual harus melibatkan secara penuh seluruh akademisi dan mahasiswa untuk terus melakukan pencegahan dan pembangunan solidaritas terhadap kasus kekerasan seksual. Agar persoalan ini tidak selalu terjebak di dalam ruang administratif. Maka menjadi sangat penting untuk terus mengawal kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Mulawarman Nomor
216/UN17/HK.02.03/2024 telah memutuskan penonaktifan status kemahasiswaan pelaku selama 6 bulan (1 semester).
Pihak koalisi akan segera terus memajukan kasus terus ke Kepolisian, untuk dapat mendorong penegakan hukum dan pemenuhan keadilan kepada korban.
Berikut tuntutan yang disampaikan pihak koalisi:
1. Implementasikan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan Undang-undang TPKS
2. Berikan Hak-hak pemulihan korban
3. Awasi kerja-kerja Satgas PPKS di Universitas
4. Sanksi tegas pelaku kekerasan seksual
(Lis)