Persepsinews.com, Samarinda – Kasus perakitan bom molotov yang terungkap di sekretariat Himpunan Mahasiswa Sejarah FKIP Universitas Mulawarman (Unmul) terus bergulir. Setelah menetapkan empat mahasiswa sebagai tersangka, Polresta Samarinda kini memburu dua aktor intelektual yang diduga menginisiasi pembuatan 27 bom molotov tersebut.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar menegaskan, isu bahwa pengungkapan kasus ini hanya skenario untuk melemahkan aksi damai Aliansi Mahakam tidak benar. Menurutnya, temuan bom molotov murni hasil pengembangan dari informasi intelijen.
“Pengungkapan ini berawal dari informasi intelijen yang kami tindak lanjuti. Saat anggota mendatangi lokasi pada Minggu (31/8/2025) malam, ditemukan 27 botol bom molotov siap pakai berikut bahan bakunya. Itu fakta di lapangan, bukan rekayasa,” jelas Hendri, Rabu (3/9/2025).
Pada malam kejadian, 22 mahasiswa diamankan untuk pemeriksaan. Namun setelah dilakukan pendalaman, hanya empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka, masing-masing berinisial F, MH alias R, MAG alias A, dan AR alias R. Sedangkan 18 mahasiswa lain dipulangkan karena tidak terbukti terlibat.
Hendri memaparkan peran masing-masing tersangka. F berperan memindahkan bahan baku berupa jeriken berisi pertalite dan membuat sumbu kain perca, MH alias R membantu memindahkan botol serta merakit, sementara AR alias R dan MAG alias A terlibat langsung dalam perakitan serta menyembunyikan bom molotov.
Polisi juga mengungkap adanya percakapan WhatsApp yang menguatkan dugaan dua aktor intelektual terlibat.
“Ada pesan berisi instruksi penyerahan bahan baku untuk aksi. Dari sini terlihat jelas ada pihak yang mengarahkan,” beber Hendri.
Menurutnya, dua orang tersebut yang kini masuk daftar pencarian memiliki peran paling krusial karena menginisiasi perakitan dan menyediakan material.
“Kami berupaya maksimal agar mereka segera tertangkap. Dengan begitu, konstruksi perkara ini semakin terang siapa yang harus bertanggung jawab,” tegas Hendri.
Atas perbuatannya, keempat mahasiswa dijerat Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman 12 tahun penjara, serta Pasal 187 subsider Pasal 187 bis KUHP dengan ancaman hingga 8 tahun penjara.
“Ini bukan skenario. Semua sesuai dengan fakta yang ditemukan. Tugas kami menjaga keamanan, memastikan aksi damai tetap bisa berjalan tanpa ada potensi gangguan,” tutup Hendri. (Nto)