Persepsinews.com, Samarinda – Pemerintah Provinsi Kaltim saat ini menempatkan desa wisata sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan, bukan sebagai program yang hanya berorientasi pada label atau seremoni. Upaya ini menekankan perlunya pendampingan jangka panjang, pembagian peran lintas instansi, serta penguatan karakter lokal agar desa wisata tidak terjebak pada konsep yang seragam dan artifisial.
Kepala Dinas Pariwisata Kaltim, Ririn Sari Dewi, menjelaskan bahwa setahun terakhir pihaknya memulai penataan menyeluruh terhadap arah desa wisata, dimulai dari penyusunan peta perkembangan desa wisata berdasarkan usulan daerah dan verifikasi kondisi lapangan.
Ia menyebut aturan baru melalui Peraturan Gubernur telah memberikan garis tegas pembinaan desa wisata berada di bawah Dispar, sedangkan pengembangan desa budaya menjadi kewenangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Meski terpisah secara struktur, keduanya tetap harus bergerak bersama.
“Regulasinya sudah mengatur dengan lebih jelas. Dispar memang menjadi penanggung jawab pembinaan desa wisata, tetapi proses penguatan tidak mungkin berjalan tanpa kerja bersama banyak aktor. Ini bukan tugas satu instansi,” kata Ririn dalam dialog pariwisata yang digelar di Kapal Wisata Pesut Harmony, Minggu (7/12/2025).
Saat ini terdapat 105 desa wisata di Kaltim, namun desa yang berhasil naik kelas dari kategori berkembang ke kategori maju masih terbatas. Ririn mencontohkan beberapa lokasi yang sudah menunjukkan kemajuan nyata, seperti Desa Pela di Kukar, Bontang Kuala, Malahing di Kutai Barat, hingga kawasan Derawan di Berau.
Ia menilai, potensi desa wisata di Kaltim cukup besar, tetapi keberhasilan tidak mungkin diraih tanpa dukungan yang konsisten. Ia menyebut APBD bukan satu-satunya sandaran, karena sejumlah bank dan BUMN telah terlibat melalui skema pembiayaan hingga CSR. Dispar juga menargetkan setiap tahun ada desa yang mampu naik kelas.
“Kami akan terus memproses itu. Kolaborasi dengan mitra pembiayaan juga sangat penting. Tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat pariwisata Politeknik Negeri Samarinda, I Wayan Lanang Nala, menilai bahwa tantangan utama pengembangan desa wisata terletak pada kecenderungan desa berlomba-lomba memasukkan diri ke dalam daftar desa wisata, meski tidak memiliki konten kuat yang mencerminkan identitas wilayahnya.
Ia menegaskan Kaltim memiliki dua modal besar, wisata bahari dan wisata pedalaman yang bisa menjadi fondasi pengembangan. Namun, menurutnya, desa wisata baru bisa berdaya saing jika mampu menampilkan kekhasan yang benar-benar otentik.
“Sering kali sebuah desa hanya mengadopsi konsep wisata tanpa mengakar pada kekuatan lokalnya. Contohnya, ada desa yang mengadopsi tema tertentu tetapi tidak mencerminkan budaya Kaltim,” ucapnya.
Wayan memberi contoh Desa Pela yang dinilai berhasil membangun narasi wisata karena keberadaan pesut mahakam, yang meski semakin jarang terlihat, tetap menjadi simbol yang membangkitkan rasa ingin tahu pengunjung.
“Pesut itu ikon. Wisatawan datang dengan harapan bisa melihatnya secara langsung, meski kemunculannya tidak bisa diprediksi. Itu menjadi daya tarik tersendiri,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa pergeseran demografi wisatawan harus menjadi perhatian para pengelola desa wisata. Kelompok milenial dan Gen Z, yang akan menjadi pasar utama, memiliki preferensi berbeda.
“Mereka mencari pengalaman yang asli. Bukan atraksi yang terlalu dibuat-buat. Bahkan lingkungan yang sederhana atau tampak kurang ideal sekali pun bisa menarik, kalau dikelola dengan konsep yang tepat,” tutup Wayan. (Ehd)













