Persepsinews.com, Jakarta – Mulai 1 Juli 2025, masyarakat Indonesia dihadapkan pada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang dilakukan oleh sejumlah operator, termasuk PT Pertamina (Persero), Shell Indonesia, BP-AKR, hingga Vivo Energy Indonesia. Kenaikan ini membuat banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) padat antrean sejak awal Juli, karena pengguna kendaraan berusaha mengisi sebelum harga lebih mahal.
Menurut pengumuman resmi Pertamina, harga Pertamax (RON 92) naik dari Rp12.100 menjadi Rp12.500 per liter. Jenis BBM berkualitas lebih tinggi seperti Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite juga mengalami kenaikan Rp500–Rp600 per liter. Kenaikan ini didasari rata-rata harga publikasi minyak dunia serta nilai tukar rupiah selama bulan lalu.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, menjelaskan bahwa kebijakan penyesuaian harga dilakukan secara berkala agar sejalan dengan mekanisme pasar. “Penyesuaian harga ini mengacu pada rata-rata publikasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah selama sebulan terakhir,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Operator BBM swasta pun tak ketinggalan menyesuaikan tarif. Shell menaikkan harga Shell Super (RON 92) menjadi Rp12.810 per liter, BP Ultimate (RON 95) menjadi Rp13.300 per liter, sementara Vivo menaikkan Revvo 95 menjadi Rp13.250 per liter.
Meski begitu, harga dua BBM bersubsidi yakni Pertalite (Rp10.000) dan Bio Solar (Rp6.800) masih dipertahankan sesuai keputusan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Kenaikan harga BBM nonsubsidi memicu berbagai respons. Karnudin (32), pengemudi ojek online di Jakarta, mengaku harus lebih pintar memilih rute dan bahan bakar. “Biasanya isi Pertamax karena motor lebih enteng tarikannya. Sekarang saya pertimbangkan balik ke Pertalite,” katanya.
Pengamat energi dari Universitas Indonesia, Dr. Raka Putra, menilai penyesuaian harga adalah konsekuensi pasar bebas. Namun ia menegaskan pentingnya mitigasi dari pemerintah. “Pemerintah harus menyiapkan bantalan sosial dan insentif untuk transportasi umum agar beban masyarakat tidak makin berat,” jelasnya.
“Pemerintah juga perlu memberi edukasi dan transparansi harga agar masyarakat tidak merasa dibebani secara mendadak,” tegasnya. (Red)