Persepsinews.com, Samarinda – Manajemen Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda diduga menerapkan kebijakan yang tidak lazim terhadap puluhan mantan karyawan yang memutuskan untuk resign. Salah satu mantan karyawan bernama DY mengungkapkan bahwa mereka yang berhenti bekerja diwajibkan mengembalikan seragam kerja.
Mereka harus membayar sejumlah Rp 1 juta untuk seragam tersebut. Alasan yang diberikan oleh manajemen RSHD adalah bahwa uang tersebut digunakan untuk membayar upah jahit seragam. Selain itu, DY juga merasa aneh karena sisa gajinya tidak ditransfer ke rekening bank, melainkan diberikan secara tunai.
DY menjelaskan bahwa mereka hanya diberikan tanda terima berupa salinan kertas tanpa kop dan stempel perusahaan sebagai bukti penerimaan sisa gaji. Rincian sisa gaji tersebut bervariasi tergantung pada bulan kapan mantan karyawan tersebut berhenti bekerja.
“Di bagian bawah tanda terima tersebut tertera tulisan “Potongan Upah Jahit Baju” sebesar Rp 1 juta. Kebijakan ini diberlakukan kepada mantan karyawan yang resign pada bulan Januari, Februari, hingga awal Maret,” kata DY, Selasa (12/6/2023).
Ketika informasi tentang kebijakan ini mencapai Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda, pemotongan gaji untuk upah jahit baju tiba-tiba tidak diberlakukan lagi menurut DY. Manajemen RSHD berdalih bahwa pemotongan hanya berlaku untuk karyawan yang bekerja kurang dari 1 tahun. Namun, DY membantah klaim tersebut dan mengatakan bahwa dia telah bekerja selama hampir 2 tahun.
Senada dengan DY, AN juga mengungkapkan keheranan terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, upah jahit baju seragam kerja diambil dari sisa gaji karyawan yang memutuskan resign. Awalnya, mereka diberitahu bahwa mereka tidak bisa menerima sisa gaji sebelum mengembalikan seragam kerja.
Namun, ketika mereka mengembalikan seragam tersebut, sisa gajinya justru dipotong sebesar Rp 1 juta dengan alasan untuk membayar upah jahit baju seragam.
“Kami hanya diberikan selembar kertas yang berisi rincian sisa gaji dan potongan untuk seragam yang harus mereka bayar,” ungkap AN.
Sementara itu, Deny Boy, seorang pengacara dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum–Komando Anak Putra Asli Kalimantan (LKBH-KAPAK), yang juga menjadi kuasa hukum 21 karyawan dan mantan karyawan RSHD, menyatakan bahwa kasus pemotongan gaji sebesar Rp 1 juta yang dilakukan oleh manajemen RSHD belum dilaporkan secara eksplisit.
“Kebijakan tersebut tidak lazim dan melanggar Undang-Undang Cipta Kerja,” terang Deny.
Selain itu, Deny Boy menjelaskan bahwa kebijakan tak lazim lainnya yang diterapkan oleh manajemen RSHD adalah menahan ijazah karyawan. Menurut kebijakan tersebut, ijazah hanya akan dikembalikan setelah satu bulan sejak karyawan tersebut berhenti bekerja di RSHD.
“Kebijakan ini juga tidak sesuai dengan UU Cipta Kerja dan dianggap tidak wajar,” tandasnya.
Media ini mencoba mengkonfirmasi tudingan mantan karyawan RSHD kepada manajemen RSHD pada tanggal 12 Juni 2023. Namun, hingga saat itu, media tersebut belum menerima jawaban yang pasti. Salmawati, seorang resepsionis RSHD, menyatakan bahwa wartawan yang ingin mewawancarai manajemen RSHD harus mengatur janji dan konfirmasi terlebih dahulu. Media tersebut berusaha mengatur janji dan menanyakan kapan bisa melakukan konfirmasi langsung dengan manajemen RSHD. Namun, sayangnya, tidak ada kepastian yang diberikan karena manajemen RSHD dikabarkan tidak berada di tempat. Salmawati mengaku tidak memiliki wewenang untuk memberikan informasi lebih lanjut. (Red)