spot_img

Bupati Kubar Belum Mampu Beli PCR ? Padahal Silpa Penanganan Covid-19 Rp 700 Miliar

Persepsinews.com, Kutai Barat – Pemerintah Kabuapten Kutai Barat (Kubar) terus mendapat sorotan. Kali ini, Alsiyus selaku Ketua Dewan Pembina LSM Fakta pun ikut mengkritisi Bupati Kubar FX Yapan yang belum mampu membeli alat PCR untuk penanganan Covid-19 di Kubar. Padahal, Silpa anggaran penanganan Covid-19 di Kubar mencapai Rp 700 Miliar.

Dirinya pun meragukan pengelolaan dana yang begitu besar namun tidak ada transparansinya. Berdasarkan keterangan FX Yapan yang beredar dalam video di mesdos, dirinya mengatakan bahwa dana APBD Kubar tahun 2020 dipangkas oleh pusat sebesar 700 miliar untuk menagani masalah Covid-19.

Tapi dalam keterangan terpisah, Ketua DPRD Kubar Ridwai mengatakan dalam rapat di kantor DPRD dengan pihak pemerintah bahwa dana tahun 2020 masih terdapat Silpa sebanyak Rp 708 miliar.

“Artinya tidak terserap/tidak dapat digunakan  oleh pemerintah Kubar untuk membangun, sehingga sampai masa 1 tahun dana itu secara otomatis dikembalikan kepada pusat,” ungkap Alysius, Rabu (28/7/2021) lalu.

Alysius berpendapat, berdasarkan 2 keterangan berbeda tersebut maka dapat simpulkan bahwa tererangan bupati tidak dapat dipercaya karena belum ada sejarahnya pusat memotong ditengah jalan APBD Kubar sedangkan daerah ini sangat membutuhkan dana untuk membangun. 

“Oleh karena itu kita sangat menyangkan sikap seorang kepala daerah yang tidak transpran kepada publik mengenai dana APBD berapa sebenarnya silpa tiap tahun anggaran, jadi kami mohon supaya  bupati tidak menyampaikan informasi yang keliru kepada masyarakat  soal silpa dana itu, ” tegasnya. 

Pada kesempatan berbeda, Ketua DPRD Kabupaten Kubar Ridwai benar-benar heran dengan pengelolaan anggaran di daerah ini.

Bagaimana tidak? Di saat masyarakat menjerit akibat pandemi covid-19 yang sudah merenggut ratusan nyawa, pemerintah justru tidak mampu mengelola anggaran yang ada.

Contohnya tahun 2020, Pemkab Kubar harus mengembalikan dana hingga Rp 708 Miliar. Padahal pemerintah hanya mengestimasi anggaran yang kemungkinan tidak bisa terpakai atau kelebihan hanya sekitar Rp 50 Miliar.

Bahkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 21 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2020, tidak ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun berkenan alias nihil.

“Kalau kita berbicara masalah anggaran aduh di Kutai Barat ini besar sekali. Makanya kita lihat di Silpa targetnya itu 50 miliar. Ternyata terealisasi 700 miliar lebih artinya 1000 % lebih silpa ini. Artinya banyak uang kita ini tidak bisa dibelanjakan,” sebut ketua DPRD Kubar Ridwai, saat memimpin rapat kerja dengan Dinas Kesehatan dan Direksi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harapan Insan Sendawar di kantor DPRD Kubar.

Menurut Ridwai, selama ini tim satgas covid-19 Kubar selalu mengeluh anggaran terbatas. Padahal anggaran ratusan miliar dalam APBD terkesan disia-siakan.

“Berbicara masalah anggaran kita sudah kelebihan anggaran, jadi akhirnya dinas-dinas mengatakan inilah itulah akhirnya tidak bisa digunakan uang ini. Makanya kami ini kena sasaran masyarakat yang menilai seolah olah kami ini tidak ada fungsi pengawasannya. Jadi hari ini kami gunakan pengawasan kami dari DPRD terkait dengan kinerja pemerintah Kabupaten Kutai Barat terkait dengan OPD-OPD yang memang tergabung didalam gugus tugas ini,” ujar Ridwai kecewa.

Rendahnya realisasi anggaran itu jadi bahan evaluasi wakil rakyat. Pasalnya di tahun ini juga realisasi APBD masih minim. Salah satunya di RSUD HIS yang baru menyerap dana 0,01 % dari pagu anggaran Rp 20 miliar.

“Buktinya tahun ini saja 20 miliar (dana RSUD HIS) yang dianggarkan terealisasi sampai dengan hari ini baru Rp 2.982.578 artinya kalau dipersentasekan hanya 0,01%. Jadi saya tidak ngerti kalau begini. Belum lagi BTT tahun 2020. Jadi Bapak Ibu sekalian khususnya dari Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit, masyarakat Kubar sekarang ini mengatakan bahwa penanganan covid ini memang mohon maaf artinya tidak serius,” katanya.

Ketidakcermatan pemerintah mengelola anggaran itu lanjut Ridwai bisa terlihat dari minimnya sarana prasarana penting di RSUD HIS. Khususnya peralatan medis seperti alat pelindung diri, tabung oksigen hingga mesin PCR (Polymerase Chain Reaction).

Bahkan Ridwai menyayangkan pihak RSUD HIS maupun dinas kesehatan yang tidak bisa membeli mesin PCR. Padahal ada anggaran ratusan miliar. Sementara harga alat tes covid-19 itu hanya sekitar Rp 1,4 miliar.

“Saya awalnya itu berpikir bahwa ini mungkin 50-an miliar, kok sulitnya pengadaan barang ini. Sampai saya ngomong dengan anggota dewan, sudahlah pokok-pokok pikiran anggota dewan kita alihkan saja beli mesin PCR, karena saya pikir itu paling murah 30 miliar. Ternyata barang ini tadi 1,4 miliar. Sangat mustahil (tidak bisa beli) kalau kita betul-betul serius urus barang itu,” sesal Ridwai.

Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, jika ada mesin PCR milik pemda maka seluruh sampel tidak perlu dibawa ke Samarinda. Sebab jika menunggu hasil tes dari laboratorium Samarinda, maka butuh waktu berhari-hari bahkan lebih dari dua minggu baru bisa diketahui.

“Laporan masyarakat ke kami di DPRD bahwa seolah-olah pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan dan rumah sakit tidak peduli dengan kondisi. Karena kalau kita ini dari awal sudah mengantisipasi terkait dengan kondisi covid ini mungkin alat PCR ini sudah terpasang dan sudah dimanfaatkan untuk pemeriksaan covid ini,” tegasnya.

Related Articles

Media Sosial

2,900FansLike
2,010FollowersFollow
1,500FollowersFollow
- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

Berita Populer