Persepsinews.com, Samarinda – Sebagai ikon pusat perbelanjaan terbesar di Kota Tepian, Big Mall Samarinda seharusnya menjadi contoh dalam kepatuhan terhadap aturan. Namun, realitas berkata lain. Pintu masuk megahnya kini justru dihiasi stiker peringatan dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Samarinda, menandakan bahwa mall tersebut belum menuntaskan kewajiban pajak.
Peringatan ini bukan sekadar formalitas. Pemerintah menuntut manajemen Big Mall segera melunasi piutang pajak yang terus menggunung hingga mencapai Rp 900 juta. Jumlah ini berasal dari selisih Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang tak kunjung disesuaikan sejak 2023, meskipun Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) mengalami kenaikan signifikan setelah berdirinya Hotel Fugo di area yang sama.
“Kami sudah berkali-kali memberikan peringatan dan kelonggaran waktu. Namun, pembayaran pajak mereka masih menggunakan tarif lama, tanpa mengikuti aturan baru yang telah ditetapkan,” tegas Plt Kepala Bapenda Kota Samarinda, Ananta Fathurrozi, Selasa (25/3).
Bukan tanpa alasan Big Mall belum membayar pajak sesuai ketetapan baru. Manajemen mall sempat mengajukan permintaan perhitungan ulang, yang pada akhirnya hanya menjadi strategi penundaan. Mereka awalnya meminta perpanjangan waktu 40 hari, lalu meminta tambahan hingga 60 hari, tetapi tetap saja tak kunjung melunasi piutang pajak yang tertunggak.
“Kalau setiap wajib pajak bisa meminta hitung ulang seenaknya, aturan jadi tak ada artinya. Pajak itu sama seperti STNK kendaraan, ada perhitungan yang jelas setiap tahunnya. Tidak bisa dihitung ulang setiap saat,” tambah Ananta.
Kepala Bidang Pendapatan Pajak 1 Bapenda Samarinda, Fitria Wahyuni, menjelaskan bahwa sebelum adanya Hotel Fugo, pajak yang dibayarkan Big Mall hanya Rp 1,4 miliar per tahun. Namun, dengan kenaikan NJOP, angka itu harus naik menjadi Rp 1,9 miliar per tahun. Sayangnya, hingga kini, Big Mall tetap membayar dengan nilai lama, menyisakan tunggakan yang terus membengkak.
“Dari 2023 sampai sekarang, piutang yang belum mereka bayarkan sudah mencapai Rp 900 juta. Itu bukan angka kecil. Pajak ini digunakan untuk pembangunan kota, jadi tidak bisa diabaikan,” kata Fitria.
Langkah pemasangan stiker peringatan di pintu masuk Big Mall bukanlah sekadar gertakan. Ini adalah sinyal bahwa Pemkot Samarinda tidak akan tinggal diam menghadapi ketidakpatuhan pajak. Jika dalam waktu satu minggu pembayaran tetap tidak dilakukan, maka langkah lebih tegas akan diambil, termasuk melibatkan kejaksaan hingga potensi penyegelan mall.
“Pemasangan stiker ini adalah peringatan awal. Jika dalam waktu seminggu tidak ada pembayaran, kami akan bekerja sama dengan kejaksaan untuk penagihan lebih lanjut. Bahkan, jika terus membandel, bangunan bisa disegel,” tegas Fitria.
Ketidakpatuhan pajak bukan sekadar masalah administrasi, tetapi juga menyangkut keadilan bagi pelaku usaha lain yang taat aturan. Pajak yang dibayarkan oleh bisnis besar seperti Big Mall seharusnya menjadi contoh bagi sektor usaha lain, bukan justru menjadi preseden buruk dengan menghindari kewajiban.
“Pendapatan daerah berasal dari pajak yang digunakan untuk pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat. Jika pusat perbelanjaan sebesar Big Mall saja mangkir, bagaimana dengan usaha kecil lainnya? Ini soal tanggung jawab,” pungkas Fitria. (Nto)