Persepsinews.com, Samarinda – Pembanguna Ibu Kota Nusantara (IKN) dianggap mengabaikan hak masyarakat lokal. Hal tersebut diutarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) yang menilai IKN bakal menjadi babak baru penggusuran lahan.
Menurut Yohana Tiko selaku Direktur ED Walhi Kaltim, dalam keterangan resminya saat melakukan aksi damai menjelaskan, instrument hukum dan kebijakan IKN, mulai penggunaan kewenangan, alasan pemerataan ekonomi dan peningkatan taraf hidup menjadikan minimnya perlibatan dan persetujuan masyarakat.
Dijelaskan dia, Kaltim saat ini adalah provinsi yang kotor dan penuh polutan, 73% dari total luas kawasannya telah dibebani oleh perizinan ekstraktif. Ada 1,32 Juta Hektar luas perkebunan sawit dengan 332 Korporasi yang mencaplok wilayah ini.
“Sementara manipulasi, tipu-menipu, kriminalisasi, pengancaman, penculikan, paksaan, serta sederet kekejaman lainnya di pakai oleh para penguasa negara untuk memuluskan rencana perampasan sumber dan wilayah kelola masyarakat tersebut,” kata Tiko, Jumat (22/4/2022).
Kemudian ada 5,3 Juta Hektar lahan tercaplok untuk keperluan energi kotor pertambangan batubara serta sisanya yakni seluas 4,8 Juta Hektar dicaplok untuk konsesi HPH dan HTI.
Terbukti, akhir-akhr ini marak penggusuran lahan adat di Desa Long Bentuq, penggusuran lahan pertanian warga di 3 Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, konflik lahan antara masyarakat dengan Perusahaan HTI di Desa Lebak Cilong, sengketa lahan adat Suku Dayak di Desa Jembayan dengan pertambangan batubara, serta 52 konflik tanah lainnya, dapat menjadi bukti bahwa betapa tidak beresnya kinerja Pemerintah atas tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Timur.
“Paradigma pembangunan di Indonesia selalu menempatkan garis-garis pengelolaan lingkungan hidup dan kekayaan alam yang adil dan lestari hanya sampai pada tataran pemuas hasrat konsumsi ekonomi kotor kapitalistik dan kepentingan ego sektoral saja,”tutur dia.
Sementara itu, Buyung Marajo selaku Koordinator Pokja 30 Samarinda mengingatkan bahwa penerbitan kebijakan yang tidak diawali dengan prinsip keadilan hanya akan menjadi sumber konflik.
Sejak awal, penetapan Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan Timur sudah mengabaikan suara dan hak masyarakat adat serta masyarakat lokal yang ada di Kalimantan Timur.
“Terlebih suara masyarakat asli yang nantinya wilayah mereka akan dibongkar untuk pembangunan Ibu Kota,” terangnya. (Red)