Persepsinews.com, Samarinda – Kisruh antara PT Dardjat Bina Keluarga (DBK) dan PT Medical Etam (ME) semakin rumit setelah somasi pertama yang diajukan oleh PT DBK dianggap tidak spesifik. Informasi terbaru mengungkapkan bahwa poin-poin penting yang melatarbelakangi somasi tersebut tidak dimuat, menimbulkan kebingungan mengenai maksud dan tujuan sebenarnya. Fitriyana, S.H., M.Kn., dari Kantor Notaris dan PPAT Kutai Kartanegara (Kukar), menyatakan bahwa somasi kedua yang diajukan oleh PT DBK ke PT ME juga diyakini memiliki kekurangan yang sama.
Beberapa poin penting yang tidak dimuat dalam somasi pertama antara lain pembatalan akta perubahan terakhir PT ME, klarifikasi peserta RUPS PT ME, upaya hukum yang dilakukan oleh PT DBK terhadap perubahan akta secara sepihak, serta ancaman pidana bagi pihak yang sengaja merubah akta PT ME tanpa melibatkan PT DBK. Namun, permintaan salinan akta baru PT ME yang termasuk dalam somasi dinilai tidak perlu dilakukan melalui somasi, menurut Fitriyana.
Fitriyana, seorang notaris dengan pengalaman sejak tahun 2011, menekankan pentingnya melihat perkara dengan objektif. Jika terkait dengan perubahan akta, perlu diklarifikasi apakah akta tersebut berbentuk notarial atau sekurel.
“Perbedaan antara kedua bentuk tersebut, di mana akta notaris mencatatkan secara langsung semua hal yang dilihat atau didengar oleh notaris saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sementara akta sekurel dibuat oleh pemegang saham setelah RUPS dan kemudian di notariskan,” ungkap Fitriyana, dilansir dari media Beranda.co, Rabu (5/7/2023).
Menurut Fitriyana, inti dari somasi PT DBK ke PT ME adalah pembatalan akta terakhir dan perubahan anggaran dasar oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Ia juga menegaskan bahwa RUPS adalah organ perseroan yang memiliki kekuasaan tertinggi, dan keputusannya harus dihormati. Fitriyana menjelaskan bahwa notaris pada dasarnya tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan sebuah akta, dan pembatalan hanya dapat dilakukan melalui proses hukum di pengadilan.
Proses pembatalan akta menjadi pintu masuk untuk menentukan apakah ada unsur pidana dalam proses RUPS PT ME. Fitriyana menjelaskan bahwa jika mekanisme RUPS tidak sesuai dengan Undang-Undang Keperseroan, dugaan pemalsuan dapat muncul, terlepas dari bentuk akta (notarial atau sekurel).
“Kami menyarankan untuk membatalkan akta baru dan Surat Keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia terlebih dahulu, untuk kemudian melihat apakah terdapat unsur pidana dalam kasus tersebut,” terangnya.
Penting untuk dicatat bahwa PT DBK sebagai pemegang saham mayoritas memiliki posisi yang tidak dapat diabaikan oleh PT ME. Keputusan yang diambil di PT ME harus melibatkan PT DBK, sementara hal ini tidak berlaku sebaliknya. PT DBK, sebagai pemegang saham terbesar, memiliki hak dan wewenang tertinggi dalam perusahaan tersebut.
Hingga saat ini, belum ada klarifikasi dari PT ME atau manajemen RS Haji Darjad terkait konflik antara PT DBK dan PT ME. Kompleksitas kasus ini terus berkembang, dan para pihak terlibat masih mencari solusi yang tepat. (Red)