Persepsinews.com, Samarinda – Pemprov Kaltim melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim masih akan mengkaji dan menghitung kembali jumlah jurusan SMK yang sesuai dengan kebijakan pengembangan industri provinsi di Kaltim. Sehingga angka pastinya memang belum bisa disampaikan.
Kendati demikian, lulusan SMK di Kaltim banyak yang langsung memutuskan untuk terjun ke dunia kerja dibanding melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal itu disampaikan oleh Kepala Seksi (Kasi) Peserta Didik dan Pembangunan Karakter SMK di Disdikbud Kaltim, Surasa .
“Lebih banyak yang bekerja. Meskipun tingkat serapannya itu masih parsial. Daripada anak-anak yang melanjutkan kuliah,” beber Surasa.
Memang harus diakui bahwa lulusan SMK dipersiapkan untuk terjun ke dunia kerja. Namun, kondisi riilnya menyatakan bahwa jumlah lapangan pekerjaan belum seimbang dengan jumlah lulusan yang selalu ada tiap tahunnya. Sebagai informasi, setiap tahun tercatat ada sekitar 25 ribu lulusan SMK yang ada di Kaltim.
Dari 25 ribu lulusan SMK itu memang ada yang sudah melapor terkait di mana tempat mereka bekerja setelah tamat sekolah. Namun ada banyak juga lulusan SMK yang bekerja di sektor informal. Sehingga mereka tak melapor.
“Memang surveinya itu kan disebut alumni SMK. Survei itu tidak menyasar alumni SMK lulusan tahun berapa. Kalau mereka tidak melapor, otomatis dianggap seperti menganggur. Alasan alumni tidak melapor kan sebabnya bermacam-macam. Tidak bisa dipukul rata,” lanjut Surasa.
Padahal bisa pula ada kemungkinan bahwa alumni SMK yang tak melapor itu juga sudah bekerja di suatu tempat. Namun karena tak melapor, maka dianggap tak bekerja. Sehingga, ujar Surasa, angka data itu pun masih diperdebatkan.
Meski begitu, sebuah SMK memang diwajibkan untuk menjalin kerja sama dengan industri yang terkait dengan jurusan tertentu. Namun, dari sisi pengawasan di lapangan juga ada persoalan. Misalnya, di Kaltim ini yang jumlah industrinya tidak sebanyak di tempat lain, maka tak seluruh industri tersebut punya pemahaman yang sama terkait pentingnya membangun SMK secara bersama.
“Jadi ada saja laporan bahwa suatu industri tertentu belum bisa menerima tawaran kerja sama dengan SMK,” tambahnya lagi.
Persoalan lainnya, sebuah industri bisa saja diajak untuk MoU. Namun sekadar MoU saja tak cukup. Sementara itu, SMK membutuhkan sampai di tahap rekrutmen. Namun tak bisa dipungkiri juga jika lowongan pekerjaan yang ada malah terbatas. Industri pun pasti berpikir dua kali jika terjalin kerja sama dengan sebuah sekolah, namun di sisi lain juga harus merekrut lulusan tersebut. Khawatir tak semua lulusan mendapat posisi pekerjaan.
“Memang di beberapa industri ada yang melaksanakan program kelas industri. Jadi kelas itu dibuka memang untuk memenuhi kebutuhan industri. Lulus langsung direkrut. Itu untuk jurusan tertentu ada,” tutup Surasa. (Gia/Adv)