Persepsinews.com, Samarinda – Nama Kamaruddin Ibrahim, anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) periode 2024–2029, tengah menjadi sorotan setelah Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi proyek fiktif PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Nilai kerugian dalam kasus ini mencapai Rp431 miliar.
Menanggapi hal tersebut, enam pengacara yang mewakili Kamaruddin menggelar konferensi pers di Samarinda, Kamis malam (22/5/2025).
Mereka adalah Fatimah Asyari, John Pricles Silalahi, Maisyarah, Raja Ivan Haryono, Sudirman, dan Marupa Sinurat.
Fatimah menyampaikan bahwa kasus yang menjerat kliennya terjadi jauh sebelum Kamaruddin menjadi anggota dewan.
“Perkara ini terjadi pada medio 2017-2018, sementara klien kami baru menjabat anggota DPRD Balikpapan pada 2019, dan baru naik ke DPRD Provinsi pada 2024,” tegas Fatimah.
Menurutnya, akar persoalan bermula sejak 2016 saat PT Fortuna Aneka Sarana Triguna—perusahaan yang dikaitkan dengan Kamaruddin bernegosiasi dengan PT Wijaya Karya Beton Tbk terkait proyek beton ready mix untuk Jalan Tol Balikpapan–Samarinda.
Pada saat bersamaan, PT Fortuna juga mengajukan proposal kerja sama ke PT Telkom untuk mendukung kebutuhan modal proyek beton tersebut.
Proposal senilai Rp 17 miliar disetujui, namun hanya Rp 13,2 miliar yang dicairkan dalam dua tahap. Dari jumlah tersebut, PT Fortuna mengembalikan sekitar Rp 4 miliar, menyisakan utang Rp 9,2 miliar.
“Untuk menjamin pelunasan, klien kami bahkan membuat akta kesepakatan, menyerahkan 30 bidang tanah sebagai jaminan, dan menandatangani surat pernyataan pengakuan utang, jaminan pribadi, serta surat kuasa penjualan jaminan,” jelas Fatimah.
Berdasarkan langkah-langkah itu, tim hukum meyakini bahwa perkara ini semestinya masuk ranah perdata, bukan pidana.
“Semuanya sudah diatur dengan mekanisme hukum perdata, jadi tidak semestinya dikriminalisasi,” tegasnya.
Pihak kuasa hukum berharap proses hukum dapat berjalan objektif dan proporsional sesuai fakta hukum yang ada.
“Kami minta kasus ini dilihat secara utuh, karena semua dokumen dan kesepakatan yang ada menunjukkan ini adalah persoalan perdata, bukan tindak pidana,” pungkas Fatimah. (Red)