spot_img

Kasus Pembunuhan Anak Demi Organ di Makassar Bukan Cuma Salah Internet

Persepsinews.com, Memprihatinkan sekaligus mengerikan berita pembunuhan seorang anak di Makassar. Tidak hanya dibunuh, tetapi juga dibedah untuk kemudian ginjalnya hendak dijual secara online. Yang lebih membuat kita mengelus dada adalah kedua pelakunya masih remaja. Pembunuhan pun sudah direncanakan.

Dilansir kompas.com, pelaku AD (17 tahun) dan MF (14 tahun) berencana untuk menculik dan membunuh demi organ. Awalnya mengiming-imingi pelaku dengan uang 50 ribu Rupiah. Setelah sampai di rumah AD, korban MFS (11 tahun) mencekik dan dijedotkan ke tembok 5 kali sampai akhirnya tewas.

Walau akhirnya tubuh korban masih utuh saat ditemukan. Alasan karena butuh uang menjadi alasan kedua pelaku membunuh korban. Juga karena tergiur iklan yang mencari organ manusia di Google, kedua pelaku semakin terdorong melakukan tindak keji tersebut. Karena tidak ikut dalam sindikat jual-beli organ, mereka bingung setelah korban tewas.

Tindak di luar nalar yang dilakukan anak remaja ini cukup membuat kita bergidik ngeri. Apalagi bagi orang tua seperti saya. Kedua pelaku yang dikenal korban bisa bertindak keji seperti itu. Informasi macam apa yang mereka cari dan dapatkan di dunia digital? Lingkungan seperti apa tempat pelaku tumbuh dan berkembang? Baik perilaku di dunia digital dan dukungan keluarga berperan sangat penting bagi para Gen Alpha.

Tak bisa dihindari, generasi saat ini akan tumbuh dan berkembang bersama dengan inovasi teknologi informasi, sekaligus dampak negatifnya. Dunia digital jelas dunia yang tanpa batas. Dengan tanpa batas berarti memang bisa kebablasan. Alasan dari para pelaku di atas jelas ada iklan yang menawarkan uang yang banyak dengan menjual organ manusia. Jual-beli organ yang ditemukan saat Googling oleh para pelaku bisa jadi ilegal.

Penjualan organ manusia ilegal merupakan bisnis menggiurkan. Data yang dihimpun situs Business Day, secara global bisnis ilegal ini bisa mendatangkan keuntungan 1,7 miliar USD atau sekitar 26 triliun IDR. Ginjal menjadi organ yang paling dicari secara global (80 ribu). Kemudian diikuti posisi dua liver (32 ribu) dan ketiga jantung (8 ribu).

Dari laporan Global Financial Integrity (GFI) memperkirakan 10% dari semua transplantasi organ seperti paru-paru, jantung dan hati, diperdagangkan secara ilegal. Misalnya harga untuk ginjal berkisar dari ratusan USD di negara kurang berkembang, hingga mencapai 20 ribu s/d 30 ribu USD di negara yang lebih maju.

Informasi jual beli organ yang dicari oleh para pelaku bisa ditemukan dengan beberapa cara. Misalnya, mereka ikut ke dalam grup Telegram yang isinya pembahasan memperjual-belikan organ manusia secara ilegal. Mereka juga bisa menjadi anggota closed grup di Facebook tentang jual-beli organ. 

Bagaimana para pelaku masuk dan bergabung ke dalam grup macam ini. Saat faktor ekonomi menjadi faktor pendorong ada 3 alasan. Pertama, ada orang mereka kenal yang tahu dan memang menjadi anggota grup tersebut. Kedua, mereka bertanya dan disesatkan oleh akun yang dianggap menjanjikan keuntungan finansial. Ketiga, mereka aktif mencari karena tahu informasi tentang bisnis ilegal ini.

Peran orang tua dan keluarga menjadi sangat penting sebagai pendamping anak tumbuh di lanskap digital. Bahkan bagi beberapa orang tua yang begitu takut pada dunia digital, menjadi ‘polisi digital’ bagi anak-anaknya. Baik pendamping atau pengawas, ada baik dan buruknya tergantung dosis.

Menjadi pendamping jika orang tua atau keluarga paham benar baik-buruk dunia digital untuk anak. Mulai dari memperkenalkan anak perangkat sampai menjaga data pribadi dilakukan secara telaten dan bertahap. Tidak perlu terburu-buru dan membuat anak merasa ditekan. Gandeng anak masuk ke dalam dunia digital lebih baik daripada mereka harus sendirian di dunia digital.

Menjadi pengawas jika memang anak sudah kadung tersesat dan mungkin kecanduan dunia digital. Kedua ekses negatif ini tentu tidak datang tiba-tiba tapi terakumulasi seiring anak tidak dituntun keluarga di dunia digital. Membatasi menjadi prioritas dan dengan tetap memberikan opsi dan aktivitas yang selayaknya diterima anak.

Kedua pelaku saya yakin sudah tersesat di dunia digital. Mereka juga tidak mendapat tuntunan selayaknya menyelami fenomena dan dampak lanskap digital. Komunikasi dan interaksi yang minim dengan keluarga di dunia nyata bisa jadi formalitas belaka. Percakapan menjemukan orang tua-anak mendorong anak kembali bersembunyi ke dunia tanpa hukuman dan tekanan hidup dunia nyata.

Masa depan pelaku pun sudah tidak bisa di ubah lagi di dunia nyata. Jejak digital yang abadi menjadi cela permanen atas reputasi para pelaku. Mungkin orang tua para pelaku tidak berpikir jauh ke sana. Dan mungkin kita yang sebaiknya mulai berpikir demikian

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Kasus Pembunuhan Anak Demi Organ di Makassar Bukan Cuma Salah Internet”,

Penulis : Giri Lumakto

Related Articles

Media Sosial

2,900FansLike
2,010FollowersFollow
1,500FollowersFollow
- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

Berita Populer